Penulis : Arnel Frydolin
(Tulisan ini meraih Juara 1 pada Lomba Menulis Tingkat SMA dan Mahasiswa yang digelar oleh media Zonakata.com)
Alam sudut kota, terlihat beberapa siswa berangan-angan sedari tadi, ada yang mereka tunggu. Driiiiiiinggggg bunyi bel jam pulang sekolah nyaring berbunyi. Mereka bergegas bergerak.
Adalah Bokko’, Tato’, dan Minggu. 3 sekawan yang selalu mengumbar keceriaan tiada henti. Mengubah hari yang suram menjadi cerah itulah mereka.
Di lantai 3 sekolah, Bokko’ terlihat sedang berjalan bersama temannya. Hingga tidak terasa mereka sampai di ujung lantai yang dari dulu dihindari siswa lainnya. Entah apa yang merasuki mereka, sehingga berani menguji nyali dan masuk ke ruangan itu.
Tiba-tiba langkah mereka dihentikan seseorang siswi yang sedang berbicara sendiri. Bokko’ terheran, lembaran-lembaran kertas yang berjejer rapih setiap sudut perpustakaan menjadi saksinya.
Minggu yang melihat Bokko’ terpaku datang menghampiri. Raut wajahnya penuh dengan derita, membuat Minggu terbawa arus. Bagaimana tidak, lingkungan yang dulunya penuh dengan kesejukan, kini berubah menjadi kepahitan. Air yang dulunya penuh dengan harapan cinta kasih, kini telah menyisakan kegelapan.
Baginya mereka, air dalam hidupnya menjadi penunjang untuk tetap bertahan di tengah goncangan dunia.
“Bagaimana jadinya jika kewajiban untuk melestarikan sudah diabaikan. Apakah bumiku masih akan memancarkan tawa?. Sampai kita menyaksikannya sendiri. Betapa kejamnya amarah sang langit biru ketika diabaikan. Sungai yang sempat mengaliri jiwaku, kini hanya sisah bayangan saja,” tanya Minggu dalam hati.
Senyuman pun sempat terlihat di wajah Bokko’. Lantunan setiap bait cerita membuat wajahnya berseri.
“Jika seandainya aku menjadi Aladin, aku ingin memberikan seluruh permintaannya demi kebaikanku. Menjaganya, melestarikannya, bahkan membuatnya menjadi nyaman dalam pijakanku,” ucapnya.
Menurut Bokko’ sumber kehidupan manusia ada di paru-parunya. Memberikan kehidupan yang kekal dan abadi hingga rela memberikan semuanya demi kesenangan kita.
Baginya, kemurnian bumi adalah perisai hidup. Lalu sempat terlintas dalam benaknya. Apakah kita ingin mengorbankan kesenangannya. Apakah kita ingin memeras seluruh isinya hanya untuk dikemas ulang?. Tidak. Tidak. Kita harus menjaga galon gratis yang sudah ada.
Kini dunia telah menyadarkan Bokko’, menyadarkan tentang pentingnya untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dia-Bumi kita.
Tato’ datang, sambil ikut termenung. Menggambarkan pemimpin yang hendek menyembuhkan krisis air yang terjadi. Setidaknya pemimpin negara berusaha untuk menyadarkan jiwa. Berusaha untuk membuat semua seluruh umatnya untuk tetap menjaga kelestarian alam. Memasang saluran pipa, yang bisa saja menyalurkan setiap butir-butir harapan.
Akhirnya mereka mengetahui bahwa seberapa pentingnya usaha untuk tetap merawat dunia ini supaya tetap tersenyum manja. Melalui pikiran Bokko’, Tato’, dan Minggu, meraka dapat mengajak warga sekolah menjaga kelestarian alam.
Air tetap mengalir pada pipa di samping sekolah. Bunga-bunga dalam pot di depan sekolah seolah tersenyum lebar, melihat kebutuhannya tetap terjaga.