ZONAKATA.COM Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei adalah momentum reflektif untuk meninjau kondisi dan arah pendidikan di Indonesia.
Untuk mencapai kemajuan yang berarti, sistem pendidikan kita membutuhkan fondasi yang kokoh, yang sejatinya harus dimulai sejak tahap paling dasar, bahkan sebelum anak memasuki jenjang pendidikan formal, sebagian kalangan bahkan menekankan pentingnya pemenuhan gizi terlebih dahulu.
Permasalahan yang kita hadapi masih belum berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Merujuk pada hasil PISA 2022, kemampuan literasi dan numerasi peserta didik Indonesia masih tergolong rendah.
Barangkali sebagian dari kita bertanya, mengapa hal ini menjadi sorotan penting? Literasi dan numerasi merupakan landasan untuk mendalami ilmu pengetahuan dan menjadi pembelajar sepanjang hayat (longlife learner).
Tanpa kemampuan dasar tersebut, upaya untuk membentuk generasi pembelajar akan menemui banyak hambatan.
Selain itu, PISA juga mengukur aspek pola pikir berkembang (growth mindset), yang pada dasarnya berarti keyakinan bahwa seseorang dapat berubah dan berkembang jika mau belajar.
Sayangnya, banyak anak yang masih memandang belajar semata-mata sebagai jalan untuk lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan, bukan karena dorongan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap ilmu.
Sering kali saya katakan bahwa sekolah atau kuliah tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga untuk memperluas wawasan, memperkaya cara pandang, dan mengasah kemampuan berpikir kritis.
Masalah lain yang terus berulang adalah pergantian kebijakan pendidikan setiap kali terjadi pergantian menteri. Tahun 2025 ini kita kembali menyaksikan perubahan di level kementerian pendidikan dasar dan menengah.
Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terutama guru, tentang kemungkinan bergantinya kurikulum lagi. Pertanyaan yang sering muncul: mana yang lebih penting, kurikulum atau kualitas guru?.
Saya ingin mengajak kita berhenti mempertentangkan keduanya, karena keduanya sama-sama vital.
Kurikulum adalah alat bagi guru untuk menjalankan proses pembelajaran. Yang dibutuhkan sekarang adalah konsistensi kurikulum, serta waktu bagi guru untuk benar-benar memahami dan menerapkannya secara optimal.
Implementasi kurikulum adalah bagian dari proses belajar guru. Kita patut mengapresiasi pergeseran paradigma dari ketidakpercayaan terhadap guru menjadi kepercayaan penuh melalui konsep Merdeka Belajar, di mana guru diberikan kebebasan untuk memilih dan mengolah materi ajar sesuai konteks dan kebutuhan peserta didik.
Harapannya, kurikulum ini tidak lagi berganti, tetapi diberi kesempatan untuk dijalankan dengan baik melalui penguatan kepemimpinan instruksional di tingkat guru.
Dalam pelaksanaan pendidikan hingga kini, pendekatan pemerintah masih lebih berorientasi pada output ketimbang outcome. Output yang dimaksud mencakup jumlah sekolah yang diperbaiki, guru yang mendapat sertifikat, atau ruang kelas yang direnovasi.
Namun outcome sejatinya adalah hasil jangka panjang yang lebih substantif, seperti terciptanya pengetahuan baru, atau bahkan lahirnya penerima Nobel dari Indonesia. Fokus yang terlalu sempit pada angka-angka pencapaian fisik sering kali menutupi gambaran besar tentang arah pendidikan kita.
Dengan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, seharusnya banyak hal bisa kita capai. Namun, dalam praktiknya, kita masih terjebak dalam rezim pembangunan yang ketat secara fiskal, di mana pendidikan kerap terseret dalam kebijakan efisiensi anggaran.
Padahal, pendidikan dan riset seharusnya menjadi sektor yang tidak bisa disamakan dengan sektor lain dalam hal pembatasan pembiayaan. Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa pendidikan kita telah terpolitisasi.
Kita tidak kekurangan orang pintar di pemerintahan, tetapi sering kali jabatan strategis diisi oleh politisi yang hanya berpikir soal penciptaan jejak pribadi atau legacy, alih-alih melanjutkan kerja baik yang telah dirintis oleh pendahulunya.
Kembali ke permasalahan literasi dan numerasi, menurut saya ada beberapa pendekatan konkret yang bisa dilakukan. Pertama, menghadirkan tim debat di setiap kelas, mulai dari tingkat SMP hingga SMA.
Kegiatan debat akan melatih siswa untuk melihat dan memahami berbagai sudut pandang, serta mengembangkan empati terhadap gagasan yang berbeda dengan pandangan pribadi. Kemampuan menyusun dan menyampaikan argumen secara terstruktur adalah bentuk literasi yang aplikatif.
Kedua, perlu diadakan kelas-kelas filosofis atau alternatif yang mendorong siswa untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dianggap mutlak, mempertanyakan aksioma dan kebiasaan yang selama ini diterima begitu saja.
Melalui proses ini, saya percaya kita akan membentuk generasi yang kritis dan terus belajar sepanjang hidup, baik anak-anak maupun orang dewasa, dengan caranya masing-masing.
Sebagai penutup refleksi Hari Pendidikan Nasional tahun ini, mari kita mengingat pandangan Jawaharlal Nehru yang menyatakan bahwa kemajuan India bergantung pada scientific temper atau perangai ilmiah.
Juga, mari kita renungkan kembali cerita dari Jepang ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom: pertanyaan pertama Kaisar Hirohito saat itu adalah, “Berapa banyak guru yang tersisa?” Sepenting itulah peran pendidikan dalam membangun bangsa.
Pertanyaan untuk kita di Indonesia adalah: apakah pendidikan telah dijalankan sebagai hak dasar warga negara dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?.
Atau, apakah pendidikan masih dilihat semata-mata sebagai investasi keluarga, yang hanya bisa diakses oleh kelas menengah dan atas? Apakah pendidikan kita adalah kebutuhan negara, atau justru kebutuhan rumah tangga?
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025
Ahmad Faisal Idrus (Mahasiswa Pascasarjana UNM Prodi S-2 Pendidikan Fisika)